Rabu, 13 Februari 2013

Merayakan Valentine's Day Bukan Hanya Maksiat, Tapi Bisa Murtad



Merayakan Valentine's Day Bukan Hanya Maksiat, Tapi Bisa Murtad


Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah untuk Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.


Gempita Valentine's Day sangat meriah di negeri kita yang mayoritas kaum muslimin. Pusat berbelanjaan menjadikan moment ini untuk menarik pengunjung, khususnya dari kalangan remaja. Media juga sibuk mencari sensasi melalui sarana syahwati ini. Pebisnis makanan juga tak mau ketinggalan, ikut menyemarakkan hari kasih sayang haram melalui tawaran potongan harga dan lainnya.


Kita akui, banyak umat Islam yang masih menganggap perayaan Valentine's Day sebagai budaya semata. Mereka berpandangan, ini tak ada hubungannya dengan nilai agama. Terlebih paham sekularisme yang sudah mengakar, sehingga memposisikan agama hanya pada tempat-tampat tertentu. Setelah itu, agama tak boleh berperan dalam kehidupan harian. Ditambah munculnya pemikiran liberalisme dan pluralisme sehingga kebenaran menjadi samar dalam pandangan orang.


Secara historis, Valentine's Day merupakan praktek peribadatan dalam agama Kristen untuk mengenang St. Valentin yang mati sebagai martir untuk membela agamanya. Karenanya umat Islam harus berlepas diri dari tradisi ini. Sebab, tuntutan keimanan adalah membenci dan berlepas diri dari kekafiran dan pelakunya. Sedangkan menyerupai orang kafir dan ikut-ikutan dengan budaya mereka adalah tanda jelas adanya kecintaan dan kasih sayang kepada orang kafir. Sementara Allah telah melarang kaum mukminin mencintai, loyal dan mendukung mereka. Sedangkan loyal dan mendukung mereka adalah sebab menjadi bagian dari golongan mereka, -semoga Allah menyelamatkan kita darinya-.


Allah Ta’ala berfirman,


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ


"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka." (QS. Al-Maidah: 51)


Abdullah bin Utbah berkata, "Hendaknya salah seorang kalian takut menjadi Yahudi atau Nasrani tanpa ia sadari." Ibnu Sirin berkata, "Kami yakin dia (Abdullah bin Utbah) memaksudkan ayat ini." (Dinukil dari Tafsir Ibnu Katsir)


لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ


"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka." (QS. Al-Mujadilah: 22)


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Menyerupai (mereka) akan menunbuhkan kasih sayang, kecintaan, dan pembelaan dalam batin. Sebagaimana kecintaan dalam batin akan melahirkan musyabahah (ingin menyerupai) secara zahir.” Beliau berkata lagi dalam menjelaskan ayat di atas, “Maka Dia Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan, tidak akan didapati seorang mukmin mencintai orang kafir. Maka siapa yang mencintai orang kafir, dia bukan seorang mukmin. Dan penyerupaan zahir akan menumbuhkan kecintaan, karenanya diharamkan.”


Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam secara tegas melarang umatnya dari ikut-ikutan kepada budaya dari luar. Bahkan beliau mengancam kepada siapa yang masih suka membebek dan ikut-ikutan, ia bagian dari orang kafir tersebut.


مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ


“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan dishahihkan Ibnu Hibban. Ibnu Taimiyah menyebutkannya dalam kitabnya Al-Iqtidha’ dan Fatawanya. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 2831 dan 6149)


Syaikhul Islam berkata, “Hadits ini –yang paling ringan- menuntut pengharaman tasyabbuh (menyerupai) mereka, walaupun zahirnya mengafirkan orang yang menyerupai mereka seperti dalam firman Allah Ta’ala, “Siapa di antara kamu yang berloyal kepada mereka, maka sungguh ia bagian dari mereka.” (QS. Al-Maidah: 51).” (Al-Iqtidha’: 1/237)


Imam al-Shan’ani rahimahullaah berkata, “Apabila menyerupai orang kafir dalam berpakaian dan meyakini supaya seperti mereka dengan pakaian tersebut, ia telah kafir. Jika tidak meyakini (seperti itu), terjadi khilaf di antara fuqaha’ di dalamnya: Di antara mereka ada yang berkata menjadi kafir, sesuai dengan zahir hadits; Dan di antara yang lain mereka berkata, tidak kafir tapi harus diberi sanksi peringatan.” (Lihat: Subulus salam tentang syarah hadits tesebut)


Ibnu Taimiyah rahimahullaah menyebutkan, bahwa menyerupai orang-orang kafir merupakan salah satu sebab utama hilangnya (asingnya syi’ar) agama dan syariat Allah, dan munculnya kekafiran dan kemaksiatan. Sebagaimana melestarikan sunnah dan syariat para nabi menjadi pokok utama setiap kebaikan. (Lihat: Al-Iqtidha’: 1/314)


Maka dari sini jelas bahwa merayakan Valentine's Day bukan semata maksiat, tapi kekufuran. Siapa yang nekad tetap merayakannya dan memeriahkannya bisa membayakan akidah dan keimanannya. Karenanya tidak ada alasan yang bisa dibenarkan jika umat Islam, -remaja, pemuda, atau orang tua- ikut-ikutan merayakan hari kasih sayang atas nama Valentine's Day. Wallahu Ta'ala A'lam.


DOA SHALAT DHUHA

DOA SHALAT DHUHA


اَللَّهُمَّ اِنَّ الضُّحَاءَ ضُحَاءَ كَ وَاْلبَهَاءَبَهَاءُكَ وَالْجَمَالَ جَمَالُكَ وَالْقُوَّةَ قُوَّ تُكَ وَالْقُدْرَةَ قُدْرَ تُكَ وَالْعِصْمَةَ عِصْمَتُكَ . اَللَّهُمَّ اِنْ كَانَ رِزْقِىْ فِىالسَّمَاءِ فَاَنْزِلْهُ وَاِنْ كَانَ فِىاْلاَرْضِ فَاَخْرِجْهُ وَاِنْ كَانَ مُعْسِرًا فَيَسِّرْهُ
وَاِنْ كَانَ حَرَامًافَطَهِّرْهُ وَاِنْ كَانَ بَعِيْدًا فَقَرِّبْهُ بِحَقِّ ضُحَاءِ كَ وَبَهَاءِ كَ وَجَمَالِكَ وَ قُوَّتِكَ وَقُدْرَتِكَ آتِنِىْمَا آتَيْتَ عِبَادَكَ الصَّالِحِيْنَ .

DOA SHALAT TAHAJUD

DOA SHALAT TAHAJUD



اَللَّهُمَّ لَكَ اْلحَمدُاَنْتَ قَيِّمُ السَّمَوَاتِ وَاْلاَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ . وَلَكَ اْلحَمْدُاَنْتَ مَلِكُ السَّمَوَاتِ وَاْلاَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَ . وَلَكَ اْلحَمْدُاَنْتَ نُوْرُالسَّمَوَاتِ وَاْلاَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ . وَلَكَ اْلحَمْدُاَنْتَ اْلحَقُّ وَوَعْدُكَ اْلحَقُّ وَلِقَاءُكَ حَقُّ وَقَوْلُكَ حَقُ وَاْلجَنَّةُ حَقُّ وَالنَّارُحَقُّ وَالنَّبِيُّوْنَ حَقُّ وَمُحَمَّدٌ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقٌّ وَالسَّاعَةُحَقٌّ . اَللَّهُمَّ لَكَ اَسْلَمْتُ وَبِكَ اَمَنْتُ وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَاِلَيْكَ اَنَبْتُ وَبِكَ خَاصَمْتُ وَاِلَيْكَ حَاكَمْتُ فَاغْفِرْلِيْ مَاقَدَّمْتُ وَمَااَخَّرْتُ وَمَااَسْ رَرْتُ وَمَا اَعْلَنْتُ وَمَااَنْتَ اَعْلَمُ بِهِ مِنِّيْ . اَنْتَ اْلمُقَدِّمُ وَاَنْتَ اْلمُؤَخِّرُلاَاِلَهَ اِلاَّاَنْتَ . وَلاَحَوْلَ وَلاَقُوَّةَاِلاَّبِاللهِ .

mengapa kalau duduk di tempat-tempat Kher(baik) ngantuk..??

mengapa kalau duduk di tempat-tempat Kher(baik) ngantuk..??

Jakarta, 20 Juli 2011 Assalamu'aikum wr.wb.. ane dpt cerita ini dari Al-Habib Ahmad bin Ali bin Abdurrahman Assegaf pada acara Majelis Khotam Qur'an Majelis Al-Fath pimpinan Al-Habib Ridho bin Ahmad Bin Yahya. pada waktu itu ada seorang wali Allah yang sangat sholeh, ketika itu beliau bermimpi melihat Iblis dengan k-2 tangannya yg mengepal. kemudian sang Wali Allah ini bertanya kpda Iblis itu, Apa yang ada di tanggan Kanan dan Kiri mu??, lalu di jawab oleh iblis itu " di tangan kiriku ada pasir dan di tangan kanan ku ada madu", kemudian Wali Itu bertanya lagi "Buat apa keduanya itu??", Ini pasir untuk ku sebarkan kepada orang2 yang duduk di tempat kher(baik), seperti majelis ta'lim, majelis zikir dan di masjid, sehingga semua orang tertidur sehingga...

Antara Usaha dan Pertolongan Allah

Antara Usaha dan Pertolongan Allah E-mail
 Oleh Administrator   
Rumah Rasulullah saw sudah dikepung. Sebelas gembong penjahat dari beragam kabilah mendekam di persembunyiannya. Masing-masing siaga dengan senjata terhunus. Mata mereka iar nyaris tak berkedip mengawasi setiap celah yang memungkinkan Rasulullah saw keluar.
Dalam situasi yang sangat genting itulah, Rasulullah saw menyuruh Ali bin Abi Thalib untuk tidur di tempatnya sambil mengenakan selimut yang biasa dipakai beliau. Kemudian, beliau keluar rumahnya tanpa diketahui para pengepungnya. Rasulullah saw langsung menuju rumah Abu Bakar as-Shiddiq. Lewat pintu belakang, keduanya menempuh perjalanan ke arah selatan sejauh lima mil. Keduanya tiba di gua Tsur di atas puncak sebuah bukit yang cukup tinggi. Selama tiga hari keduanya bersembunyi di gua tersebut.

Setelah mengetahui keadaan cukup aman, ditemani seorang penunjuk jalan bernama Abdullah bin Uraiqith, Rasulullah dan Abu Bakar melanjutkan perjalanan kea rah selatan. Setelah melewati daerah pantai dan daerah sepi yang nyaris tak pernah dilewati orang, mereka berbalik ke arah utara menuju Madinah. Pada Senin, 8 Rabiul Awal tahun keempat belas dari kenabian, bertepatan dengan tanggal 23 September 622 M, Rasulullah saw tiba Quba’. Disana beliau mendirikan mesjid dan tinggal selama 4 hari. Setelah itu bersama beberapa orang sahabat yang menjemputnya, beliau bergerak menuju Madinah.

Kisah perjalanan hijrah Rasulullah saw tersebut tak asing lagi bagi kita. Sebuah kisah perjalanan yang sarat dengan pelajaran. Ia tak hanya menjelaskan peristiwa pindahnya Rasulullah saw dari tanah kelahirannya, Makkah, menuju negeri hijrah, Madinah. Tapi, menyimpan beragam strategi, taktik, dan siasat jitu menghadapi musuh.

Keberhasilan Rasulullah saw menyelamatkan diri dari kepungan dan kejaran orang-orang yang ingin membunuhnya itu, tak cukup dijelaskan semata karena pertolongan Allah. Meski itu yang paling utama, tapi sisi usaha Rasulullah saw sebagai seorang manusia pun sangat nyata. Bahkan, kalau diteliti, pertolongan Allah itu muncul dan menjadi kunci keberhasilan setelah segenap usaha dilakukan.

Untuk mengelabui mereka yangmengepung rumahnya, Rasulullah saw menyuruh Ali bin Abi Thalib tidur mengenakan selimutnya. Beliau juga sudah memperkirakan, musuhnya akan mengejar ke arah Madinah. Untuk itu ia bersembunyi di gua Tsur yang letaknya berlawanan dengan arah Madinah. Rasulullah juga menyuruh Amir bin Furairah, mantan budak Abu Bakar untuk menggembalakan kambing di sekitar dan sepanjang jalan ke gua. Selain untuk diambil susunya, juga untuk menghilangkan jejak.

Untuk mengetahui keadaan lawan, Rasulullah saw menyuruh Abdullah bin Abu Bakar menginap bersama mereka di gua dan sebelum matahari terbit ia sudah berada lagi di Mekkah. Dengan demikian, Rasulullah saw tahu semua rencana orang-orang kafir yang terus mencari dan ingin membunuhnya. Sebaliknya, orang-orang kafir tak pernah curiga karena Abdullah bin Abu Bakar selalu bersama mereka di siang hari.

Selama tiga hari bersembunyi di dalam gua, Rasulullah saw dan Abu Bakar tidak kelaparan karena Asma’ senantiasa menyuplai makanan buat mereka. Dengan cerdik putrid Abu Bakar itu menyelipkan makanan di pinggangnya. Karenanya, dalam sejarah ia dikenal dengan Dzatun Nithaqain (pemilik dua ikat pinggang).

Namun semua itu hanyalah usaha maksimal manusia. Yang berhak menentukan keberhasilan hanyalah Allah. Buktinya, walaupun Ali bin Abi Thalib sudah diperinyahkan tidur di tempat Rasulullah saw, tetap saja ada diantara pra pengepung yang sempat mengetahui bahwa beliau sudah keluar. Kekuasaan Allah lah yang mampu menutup mata dan hati para pengepung sehingga Rasulullah saw berhasil menyelamatkan diri.

Meski sudah berusaha semaksimal mungkin mengatur siasat, tetap saja para pengejar berhasil menemukan tempat dimana Rasulullah saw dan Abu Bakar bersembunyi. Hanya kekuasaan Allah lah yang mampu menggerakan hati orang-orang kafir itu untuk tidak melongok ke dalam gua. Kekuasaan Allah juga yang menggerakkan hati burung merpati untuk bertelur di pintu gua. Kekuasaan Allah juga yang menggerakkan laba-laba untuk merangkai sarangmya menutupi pintu gua. Dengan demikian orang-orang kafir yang saat itu sudah berdiri di muka gua, tak curiga kalau di dalamnya ada Rasulullah saw dan Abu Bakar sedang bersembunyi.

Meski sudah berusaha semaksimal mungkin memilih jalan paling aman ke Madinah, tapi tetap saja Suraqah bin Naufal mampu menemukan mereka. Lagi-lagi hanya karena pertolongan Allah yang menyebabkan kaki kuda Suraqah terperosok sehingga menyebabkannya tak sanggup menangkap atau membunuh Rasulullah saw.

Tak hanya pada peristiwa hijrah hal ini terjadi. Menghadapi pasukan Ahzab yang jumlahnya berlipat ganda, Rasulullah saw dan kaum Muslimin sudah berusaha semaksimal mungkin. Untuk membentengi diri dari serbuan musuh, kaum muslimin sudah menggali parit yang mengitari hamper setengah keliling Madinah. Rasulullah saw pun menyuruh Hudzaifah Ibnul Yaman untuk mengintai keadaan lawan. Beliau juga membolehkan Nuaim bin Mas’ud untuk memecah belah pasukan musuh. Namun, bukan itu yang membuat laan kalah. Bukan itu yang menyebabkan lawan tercerai berai. Itu hanyalah usaha manusia. Yang memenangkan pertempuran adalah Allah. Dengan hanya mengirimkan angin, Allah membuat pasukan Ahzab kocar kacir. Mereka lari tunggang langgang meninggalkan medan pertempuran dengan rasa takut yang mencekam.

Begitulah perjuangan. Ia tak hanya butuh kerja keras yang maksimal, tapi juga butuh pertolongan dari Allah. Sebaliknya, pertolongan dari Allah tak bisa turun begitu saja tanpa usaha yang maksimal.

Karenanya, datangnya pertolongan Allah itu bersyarat. Ia hanya akan datang kepada mereka yang sudah berusaha menolong agama-Nya. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jika kmu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu,” (QS. Muhammad:7)

Jadi jangan berharap pertolongan Allah akan muncul kalau kita tak pernah berusaha menolong agama-Nya. Pertolongan Allah tidak bisa grat
is

Larangan Mengucapkan Selamat Atas Hari Raya Orang-orang Kafir Dan Tahun Baru

Larangan Mengucapkan Selamat Atas Hari Raya Orang-orang Kafir Dan Tahun Baru

PDF

Cetak

E-mail



Oleh Muhammad Ahmad Vad,aq.   





Pada dasarnya, Islam telah melarang kaum muslim melibatkan diri di dalam perayaan hari raya orang-orang kafir, apapun bentuknya. Melibatkan diri di sini mencakup aktivitas; mengucapkan selamat, hadir di jalan-jalan untuk menyaksikan atau melihat perayaan orang kafir, mengirim kartu selamat, dan lain sebagainya.  Sedangkan perayaan hari raya orang kafir di sini mencakup seluruh perayaan hari raya, perayaan orang suci mereka, dan semua hal yang berkaitan dengan hari perayaan orang-orang kafir (musyrik maupun ahlul kitab).




Namun seiring dengan semakin lemahnya pemahaman umat Islam terhadap Islam, dan semakin kuatnya tekanan paham-paham kufur kepada kaum Muslim, hukum yang sudah jelas ini justru dikaburkan oleh ulama-ulama jahat yang menghambakan dirinya kepada penguasa fasiq dan dzalim.  Dengan berbagai dalih dan alasan, ulama-ulama culas ini memfatwakan fatwa-fatwa yang menyimpang dari aqidah dan syariat Islam.   Diantara fatwa itu adalah bolehnya kaum Muslim mengucapkan selamat atas hari raya atau hari suci kaum kafir.
Untuk itu, umat Islam harus dijelaskan kembali hukum syariat tentang mengucapkan selamat atas hari raya dan hari suci kaum kafir dengan penjelasan yang jernih dan mendalam, agar tersingkap mana fatwa yang benar dan mana fatwa rusak yang menyelisihi aqidah dan syariat Islam.
Sesungguhnya, ada dua hukum yang berkaitan erat dengan masalah ini, yakni hukum bertasyabbuh dengan kaum kafir, serta larangan merayakan perayaan kaum kafir. Adapun uraian atas dua hukum tersebut adalah sebagai berikut.
Tasyabbuh dengan Kaum Kafir
Kata "tasyabbuh" (penyerupaan) merupakan bentukan dari kata "tasyabbaha", yang bermakna al-tamtsiil (menyerupai).[Imam al-Raziy, Mukhtaar al-Shihaah,hal.328].  Menurut istilah para fuqaha, tasyabbuh bermakna menyerupai atau meniru-niru perkataan, perilaku, dan kebiasaan orang-orang kafir.
Sebagian ulama berpendapat, bahwa kata "tasyabbuh" bisa digunakan dalam konteks kebaikan dan dosa.   Dalam kitab 'Aun al-Ma'buud diterangkan, bahwa Imam al-Qaariy berkata,"Barangsiapa bertasyabbuh dengan orang-orang shaleh, maka ia akan dimuliakan sebagaimana orang-orang shaleh itu dimulyakan.  Barangsiapa bertasyabbuh dengan orang-orang fasik, maka ia tidak akan dimulyakan.  Siapa saja yang memiliki  ciri-ciri orang-orang yang mulia, maka ia akan dimuliakan, meskipun kemuliaan itu belum terwujud di dalam dirinya."[Mohammad Syams al-Haq, 'Aun al-Ma'buud Syarh Sunan Abi Dawud, hadits no. 3512]
Dari uraian di atas bisa disimpulkan, bahwa kata "tasyabbuh" hanya memiliki "pengertian bahasa" saja (haqiqat al-lughawiyyah), dan tidak memiliki pengertian syar'iy (haqiqat al-syar'iyyah).  Sebab, kata tasyabbuh bisa digunakan dalam konteks kebaikan maupun dosa.  Untuk itu, pemaknaan kata tasyabbuh harus sejalan dengan pengertian literalnya, yakni al-tamtsiil (penyerupaan).
Hukum Tasyabbuh Menurut Para 'Ulama
Seluruh 'ulama telah bersepakat mengenai keharaman tasyabbuh dengan orang kafir. Larangan ini didasarkan pada nash-nash Al-Quran dan sunnah. Di dalam al-Quran, Allah swt berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Mohammad) "Raa'ina", tetapi katakan: "Undzurna", dan "dengarlah".  Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih."[TQS Al Baqarah (2):104]
Imam Ibnu Katsir, dalam Tafsir Ibnu Katsir, menyatakan, bahwa Allah swt telah melarang kaum mukmin menyerupai perkataan dan perilaku orang-orang kafir. [Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 1/149].
Di dalam sunnah, banyak riwayat yang menuturkan larangan bertasyabbuh dengan orang-orang kafir. Imam Ahmad mengetengahkan sebuah riwayat dari Ibnu 'Umar, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
" Aku telah diutus di hadapan waktu dengan membawa pedang, hingga hanya  Allah semata yang disembah, dan tidak ada sekutu bagi Allah; dan rizkiku telah diletakkan di bawah bayang-bayang tombakku.  Kehinaan dan kenistaan akan ditimpakan kepada siapa saja yang menyelisihi perintahku; dan barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari kaum tersebut."[HR. Imam Ahmad]
Masih menurut Imam Ibnu Katsir, hadits ini berisikan larangan yang sangat keras, serta ancaman bagi siapa saja yang meniru-niru atau menyerupai orang-orang kafir, baik dalam hal perkataan, perbuatan, pakaian, hari raya, peribadahan, serta semua perkara yang tidak disyariatkan bagi kaum muslim. [Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 1/149-150]
Tatkala menafsirkan hadits riwayat Imam Ahmad di atas, Imam al-Manawiy dan al-'Alqamiy, menyatakan,"Hadits di atas berisikan larangan untuk berbusana dengan busana orang-orang kafir, berjalan seperti orang-orang kafir, serta berperilaku seperti orang-orang kafir."[Mohammad Syams al-Haq, 'Aun al-Ma'buud Syarh Sunan Abi Dawud, hadits no. 3512]
Al-Qariy berkata, "Barangsiapa bertasyabbuh dengan orang-orang kafir, baik dalam hal pakaian dan lain sebagainya, maka ia termasuk bagian dari kaum tersebut. Tasyabbuh tidak hanya dengan orang-orang kafir belaka, akan tetapi juga dengan orang-orang fasik, fajir, ahli tasawwuf, dan orang-orang shaleh.  Walhasil, tasyabbuh terjadi dalam hal kebaikan dan dosa."[ Mohammad Syams al-Haq,'Aun al-Ma'buud Syarh Sunan Abi Dawud, hadits no. 3512]
Ibnu 'Umar ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
"Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari kaum tersebut."[HR. Imam Ahmad]
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا
"Bukanlah termasuk golongan kami, siapa saja yang bertasyabbuh dengan selain kami."[HR. Turmudziy]
Menurut al-Hafidz Ibnu Hajar, "Sanad hadits ini hasan."[al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Baariy, juz 6/98; 'Aun al-Ma'buud Syarh Sunan Abi Dawud, hadits no.3512]
Riwayat-riwayat di atas menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa Rasulullah saw melarang kaum muslim bertasyabbuh dengan orang-orang kafir  dengan larangan yang sangat keras.    Bahkan, agar kaum muslim tidak menyerupai orang-orang Yahudi, Nabi saw memerintahkan umatnya untuk mengecat ubannya. Dalam sebuah riwayat dinyatakan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
غَيِّرُوا الشَّيْبَ وَلَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ
"Ubahlah warna uban kalian, dan janganlah kalian bertasyabbuh dengan kaum Yahudi."[HR. Tirmidziy; hadits hasan shahih]  Dalam riwayat Ibnu Hibban dan Imam Ahmad ada tambahan "dan kaum Nashraniy".     Sedangkan dalam riwayat Imam Bukhari dan Muslim dinyatakan, "Sesungguhnya kaum Yahudi dan Nashraniy tidak mengecat uban mereka, maka janganlah kalian menyerupai mereka". [Imam Mubarakfuriy, Tuhfat al-Ahwadziy, hadits no. 1674]
Imam Syaukani, di dalam kitab Nail al-Authar mengatakan, "Hadits ini menunjukkan, bahwa 'illat syar'iyyah disyariatkannya pengecatan dan mengubah warna uban adalah, agar tidak menyerupai  orang-orang Yahudi dan Nashraniy."    'Ulama-'ulama salaf sangat memperhatikan sunnah yang satu ini.   Oleh karena, Ibnu Jauziy menyatakan, bahwa mayoritas shahabat dan tabi'iin mengecat ubannya.  Tidak hanya itu saja, Rasulullah saw juga melarang kaum muslim mengenakan pakaian, model rambut, cawan emas, dan lain sebagainya.   Ini menunjukkan bahwa, tasyabbuh merupakan perbuatan yang sangat dibenci oleh Nabi saw.
Berdasarkan penjelasan di atas dapatlah disimpulkan bahwa, seluruh 'ulama telah sepakat, bahwa hukum bertasyabbuh dengan orang-orang kafir, baik dalam hal pakaian, perkataan, tingkah laku, hari raya, dan lain sebagainya adalah haram secara mutlak.
Walhasil, meniup terompet di hari pergantian tahun (Tahun Baru), sebagaimana tradisi Rosh Hasanah orang Yahudi jelas-jelas termasuk tasyabbuh bil kaafir yang diharamkan di dalam Islam.  Tradisi menunggu pergantian tahun pada pukul jam 24.00 wib sebagaimana tradisi kaum kafir Cina untuk menghormati Dewa Toa Pe Khong, tradisi berdansa dan menari-nari untuk merayakan hari Raya orang kafir, mengenakan baju-baju Sinterklas, mengenakan atribut-atribut yang mencitrakan agama kaum kafir, menghiasi toko atau kantor dengan simbol-simbol  agama kafir termasuk tasyabbuh yang dilarang oleh Islam.
Hukum Melibatkan Diri Dalam Perayaan Orang-orang Kafir
Sesungguhnya, ajaran Islam telah melarang kaum muslim untuk merayakan hari raya orang-orang musyrik maupun ahlil kitab. Ketentuan semacam ini didasarkan pada firman Allah swt;
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
"Dan mereka (mukmin) yang tidak menyaksikan hari raya orang-orang kafir musyrik." [TQS Al Furqan (25): 72]
Dalam menafsirkan ayat ini sebagian shahabat, misalnya Ibnu 'Abbas, 'Abdullah bin 'Umar dan para tabi'in, seperti Mujahid, Mohammad Ibnu Sirin, dan sebagainya, menyatakan, "Kaum mukmin dilarang merayakan hari raya orang-orang musyrik." [Imam Qurthubiy, Tafsir Qurthubiy, juz 13, hal. 79; Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 3, hal. 329-330]
Beberapa fuqaha juga berpendapat senada mengenai firman Allah swt al-Furqan: 72. Imam Ahmad bin Hanbal berkata:
"Kaum muslim telah diharamkan untuk merayakan hari raya orang-orang Yahudi dan Nasrani. Kaum muslim juga diharamkan memasuki gereja dan tempat-tempat ibadah mereka." [Imam Baihaqi menyatakan, "Jika kaum muslim diharamkan memasuki gereja, apalagi merayakan hari raya mereka." [Ibnu Tamiyyah, Iqtidla' al-Shiraath al-Mustaqiim, hal.201]
Imam al-Amidi dan Qadli Abu Bakar al-Khalal menyatakan,"Kaum muslim dilarang keluar untuk menyaksikan hari raya orang-orang kafir dan musyrik." Al-Qadliy Abu Ya'la al-Fara' berkata, "kaum muslim telah dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang kafir atau musyrik". Imam Malik menyatakan, "Kaum muslim telah dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang musyrik atau kafir, atau memberikan sesuatu (hadiah), atau menjual sesuatu kepada mereka, atau naik kendaraan yang digunakan mereka untuk merayakan hari rayanya. Sedangkan memakan makanan yang disajikan kepada kita hukumnya makruh, baik diantar atau mereka mengundang kita." Pada masa-masa kejayaan Islam, pemerintahan Islam saat itu –sejak masa Rasulullah saw --, kaum muslim tidak diperbolehkan merayakan hari raya ahlul Kitab dan kaum musyrik. Rasulullah saw pernah bersabda mengenai hari raya orang-orang kafir:
"Setiap umat memiliki hari raya sendiri-sendiri. Idul Fithri adalah hari raya kita." [HR. Bukhari dari 'Aisyah ra]
Tatkala mengomentari hari raya bangsa Persia, Rasulullah saw bersabda:
"Allah swt telah mengganti dua hari yang lebih baik daripada kedua hari itu (nairus dan naharjan: hari raya bangsa Persia), yaitu Idul Fitri dan idul Adha.: [HR. Abu Dawud, Turmudzi, Nasaa'iy, dan Ibnu Majah]
Riwayat-riwayat ini menunjukkan dengan jelas, bahwa Rasulullah saw telah melarang kaum muslim merayakan hari raya orang-orang kafir.
Pada masa pemerintahan khalifah 'Umar bin al-Khaththabb, beliau telah melarang kaum muslim merayakan hari raya orang-orang kafir. Imam Baihaqiy telah menuturkan sebuah riwayat dengan sanad shahih dari 'Atha' bin Dinar, bahwa Umar ra pernah berkata, "Janganlah kalian mempelajari bahasa-bahasa orang-orang Ajam. Janganlah kalian masuk ke gereja-gereja orang-orang musyrik pada hari raya mereka. Sesungguhnya murka Allah swt akan turun kepada mereka pada hari itu.". [HR. Baihaqiy]
Demikianlah, sejak masa shahabat ra, Islam telah melarang kaum muslim melibatkan diri di dalam perayaan hari raya orang-orang kafir, apapun bentuknya.   Melibatkan diri di sini mencakup perbuatan; mengucapkan selamat, hadir di jalan-jalan untuk menyaksikan atau melihat perayaan orang kafir, mengirim kartu selamat, dan lain sebagainya.  Perayaan hari raya orang kafir di sini mencakup seluruh perayaan hari raya, perayaan orang suci mereka, dan semua hal yang berkaitan dengan hari perayaan orang-orang kafir (musyrik maupun ahlul kitab).
Meluruskan Anggapan Yang Salah bahwa Islam tidak Toleransi
Kadang-kadang, karena beralasan tidak enak hati, atau takut menyakiti hati kawan yang beragama lain, seorang muslim akhirnya tak kuasa untuk tidak mengucapkan selamat kepada orang kafir atas hari raya mereka, atau peringatan orang suci mereka.  Padahal, perasaan semacam ini adalah perasaan aneh yang tidak akan muncul dari seseorang yang benar-benar beriman kepada Allah swt.    Seorang mukmin mesti memahami, bahwa tatkala ia tidak mengucapkan selamat atas perayaan orang-orang kafir, bukan berarti ia telah mengambil sikap permusuhan,  menyakiti hati orang kafir, atau tidak mau bersosialisasi dengan mereka.   Sebab, tidak mengucapkan selamat kepada orang kafir, tidak berhubungan dengan permusuhan dengan mereka maupun pencideraan terhadap perasaan mereka.   Hal ini tak ubahnya ketika kita tidak mengakui prinsip-prinsip agama mereka .  Ketika kita tidak mengakui bahwa Yesus adalah Tuhan, maka ini tidak berarti kita mengobarkan permusuhan dengan mereka, menyakiti hati mereka atau tidak mau bersosialisasi dengan mereka.   Oleh karena itu, anggapan semacam ini sebenarnya adalah anggapan yang tidak pada tempatnya.
Selain itu, ketika orang kafir tidak diberi ucapan salam atas perayaan mereka, sesungguhnya mereka pun akan memahami penolakan kita, jika hal itu kita jelaskan dengan penjelasan yang benar.  Mereka pasti akan menerima penolakan kita dikarenakan ajaran kita memang memerintahkan seperti itu.   Mereka juga akan menerima dan mengakui prinsip dan pendirian kita.  Sebaliknya, mereka juga akan memandang rendah orang yang tidak memiliki pendirian, dan rela mengorbankan prinsip hanya karena tidak enak hati. Dan ingat bahwa toleransi juga ada batasnya, semoga kita bisa melihat yang benar itu adalaha kebenaran hingga kita dapat mengikutinya dan yang salah itu adalah hingga kita pun dapat menjahuinya.

Wallahu 'Alam bi al-Shawab
Muhammad Ahmad Vad,aq.

Tanya Jawab Sekitar Thaharah (Bersuci)

Tanya Jawab Sekitar Thaharah (Bersuci) PDF Cetak E-mail
Oleh Administrator   
{ilike}
Memahami thaharah dalam beragama sangatlah penting. Pada artikel ini, redaksi  menyajikan tulisan dalam bentuk tanya jawab seputar dasar-dasar bersuci (thaharah). Dari mulai dari penentuan air suci atau tidak, pelaksanaan bersuci, yang membatalkan wudlu, penggunaan media bersuci, hingga orang yang melakukan thaharah.
BAB: THOHAROH
Media apa saja yang dapat dijadikan alat untuk bersuci ?
Media yang bisa dijadikan alat untuk bersuci adalah :
Air
  • Debu
  • Istihalah
  • Batu

Berapa macamkah jenis Air dalam Ilmu Fiqih ?
Jenis Air dalam ilmu Fiqih ada 4 :

  • Air suci dan mensucikan ( Mutlaq )
  • Air suci tapi tidak mensucikan
  • Air Makruh
  • Air Mutanajis


Apa saja contoh dari air mutlaq ? Air Mutlaq ada 2 macam :
  • Air yang keluar dari Bumi seperti: Air Sumur , Air Laut , Air Sungai dan Mata Air.
  • Air yang turun dari langit seperti: Air hujan , Air embun , dan Air salju yang mencair. Apa saja contoh dari Air yang Suci tapi tidak mensucikan ? Contoh dari Air yang suci tapi tidak mensucikan adalah :
  • Air Kopi
  • Air kelapa
  • Air Teh Dikatakan air suci tapi tidak mensucikan karena Airnya telah berubah salah satu sifatnya karena bercampur dengan suatu benda yang suci , walaupun zat-nya itu sendiri suci namun tidak sah lagi untuk bersuci.


Apa hukumnya air yang berubah tapi perubahannya dikarenakan tempatnya ?
Hukum Air tersebut tetap dikatakan suci , karena air itu tidak dikatakan berubah kalau perubahannya itu dikarenakan tempat, walaupun perubahan itu terjadi pada salah satu dari semua sifat yang tiga ( warna , rasa dan baunya ).

Apa yang dimaksud dengan air sedikit ?
Yang dimaksud dengan air sedikit adalah yang kurang dari dua kullah.

Apa yang dimaksud dengan air yang banyak ?
Air yang banyak adalah air yang lebih dari dua kullah.

Apa yang dimaksud dari dua kullah ?
Air dua kullah adalah air yang berada pada tempat yang berukuran panjang , lebar dan dalamnya masing – masing 60 cm , atau lebih.

Apa saja syarat dalam memakai debu ?
Syarat – syarat dalam memakai debu ialah :
  • Debunya dari debu yang suci
  • Debunya bukan debu musta’mal ( debu yang bekas dipakai tayamum ).


Bolehkah kita bertayamum dengan menggunakan debu yang berada pada tubuh anjing ?
Boleh , dengan syarat badan anjing itu kering tidak basah dan tangan kita juga kering.

Apa saja syarat atau ciri dari batu yang bisa digunakan untuk bersuci ?
Ciri dari batu yang bisa digunakan untuk bersuci adalah :
  • Bendanya padat
  • Bendanya suci
  • Bendanya kasar
  • Bendanya bukan dari barang yang terhormat ( makanan , tulang , buku agama ).
Apa itu menyamak ?
Menyamak adalah mengeluarkan sisa – sisa yang ada di kulit dengan sesuatu yang bersifat panas.

Apa saja hukum beristinja ?
Hukum Istinja bisa :

  1. Wajib = Jika sesuatu yang keluar dari kemaluan itu najis yang basah .
  2. Mubah = Jika sesuatu yang keluar itu karena keringat (kemaluan kita berkeringat)
  3. Sunah = Jika sesuatu yang keluar itu kering , namun ini sangat jarang terjadi.
  4. Makruh = Jika terus menerus / sering kentut makruh beristinja .
  5. Haram = Ada 2 :
    1. Haram tidak sah (jika istinjanya dengan sesuatu yang dihormati )
    2. Haram tapi sah ( jika istinjanya dengan barang orang lain tanpa izin seperti mengambil air orang lain )

Apa itu Istinja ?
  • Istinja adalah menghilangkan sesuatu berupa najis yang keluar dari 2 kemaluan.

Apa itu Wudhu ?
Wudhu menurut bahasa adalah “ Al-Wadho’u “ ( Cantik / Bagus )
Menurut istilah adalah Membasuh bagian dari tubuh yang khusus dengan niat yang khusus pula.
Ada berapa Fardhu Wudhu ?
Fardhu wudhu ada 6 :
  1. Niat
  2. Membasuh muka
  3. Membasuh tangan
  4. Membasuh rambut
  5. Membasuh kaki
  6. Tertib

Apa saja yang membatalkan Wudhu ?
Yang membatalkan wudhu ada 4 :
  1. Keluarnya sesuatu dari kemaluan belakang atau depan , baik yang biasa keluar atau yang jarang keluar .
  2. Bersentuhan kulit laki – laki dengan perempuan yang sudah besar (baligh) tanpa ada penghalang .
  3. Hilangnya akal baik dengan tidur , pingsan atau gila .
  4. Menyentuh kemaluan dengan telapak tangan baik kemaluannya sendiri atau kemaluan orang lain.

Batalkah wudhu jika menyentuh kemaluan binatang ? Menyentuh kemaluan binatang tidak batal .

Batalkah wudhu kita , jika kita punya wudhu lalu menyentuh mayit ? Persentuhan itu menyebabkan batalnya wudhu kita tapi tidak bagi si mayit .

Batalkah wudhu jika menyentuh gigi , kuku atau rambut ? Tidak batal , karena itu bukan termasuk kulit .

Bagaimana jika seorang yang berhadats ragu apakah ia telah berwudhu atau belum ? Orang itu dikatakan belum berwudhu karena pada dasar awalnya dia itu berhadats .

Apa saja sunah – sunah dalam berwudhu?
Sunah – sunahnya :
  1. Bersiwak
  2. Basmalah
  3. Mendahulukan yang kanan
  4. Kumur
  5. Memasukan air ke dalam hidung
  6. Mengeluarkan air dari dalam hidung
  7. Membasuh seluruh rambut
  8. Menggosok / Menyela
  9. Setiap bagian 3 kali
  10. Membaca Do’a wudhu

Apa hukumnya berkumur dalam wudhu sampai batas tenggorokan ?
Hukum berkumur dalam wudhu sampai tenggorokan ( mubalaghoh ) disunnahkan jika bukan dalam keadaan puasa , tapi jika dalam keadaan puasa maka tidak disunnahkan .

Apa itu Niat ?
Niat adalah memaksudkan terhadap suatu pekerjaan berbarengan dengan pekerjaan yang akan dilakukan .

Apa hukum Niat ?
Hukum berniat adalah Wajib pada setiap amalan ibadah .

Kapan waktunya mengucapkan Niat ?
Waktu mengucapkan Niat adalah pada waktu memulai ibadah .

Di mana tempat Niat ?
Tempatnya Niat adalah di Hati .

Apa hukumnya niat diucapkan dengan lisan ?
Niat yang diucapkan dengan lisan adalah Sunah .

Sampai manakah batasan membasuh muka pada waktu berwudhu?
Batasan panjangnya dari dagu sampai batas tumbuhnya rambut diatas jidat , dan lebarnya dari kuping ke kuping .

Apa hukum membasuh kumis dalam berwudhu ?
Hukum membasuh kumis dalam wudhu adalah Wajib .

Apa hukum membasuh jenggot dalam berwudhu ?
Jika jenggotnya tebal sampai tidak kelihatan kulitnya dari jarak pandang berbicara , maka cukup bagian luarnya saja disertai dengan menyela – nyela .

Bagian mana yang wajib dibasuh pada rambut kepala dalam hal berwudhu ?
Setiap rambut yang ada di kepala walaupun satu helai maka sah hukumnya menurut Mazhab Imam Syafi’I , tapi disunnahkan menyapu seluruhnya . Bagaimana hukumnya membasuh rambut yang keluar dari batas kepala seperti rambut wanita yang dikepang sampai ke pinggang ?
Tidak sah hukumnya membasuh rambut yang dipinggangnya karena sudah keluar dari batas kepala , yang sah ia basuh rambut yang diatas kepalanya bukan rambut yang di bagian pinggang .

Bagaimana jika ada seseorang yang sudah punya wudhu , namun dia ragu apakah dia sudah batal atau belum ?
Wudhunya orang itu tidak batal karena keraguannya , karena pada dasarnya dia sudah punya wudhu .

Batalkah wudhu seseorang jika menyentuh banci musykil?
Jika banci itu banci musykil , maka wudhunya tidak batal , karena belum jelas apakah ia berjenis laki atau perempuan . Batalkah wudhu jika kita ragu terhadap seorang yang kita sentuh apakah ia laki - laki atau perempuan , umpamanya jika berada dikeramaian ? Tidak batal wudhu seseorang jika ia ragu apakah perempuan atau laki – laki yang ia sentuh .

Batalkah wudhu kita jika kita sedang Thowaf lalu bersentuhan dengan perempuan , karena laki – laki dan perempuan disana saling berdesak – desakan ?
Jika merujuk kedalam mazhab Imam Syafi’I kita tetap dikatakan batal , namun karena dhorurot maka kita boleh mengambil mazhab yang memperbolehkan ( tidak batal ) jika bersentuhan dengan perempuan seperti mazhab Imam Ahmad dan Imam Malik , ini sebagai wujud dari keringanan dalam islam
© Penulis ustadz Taufik Penanya Ustadz Ali Narasumber Habib Muhammad Ridho bin Ahmad bin Yahya